....欢 迎 您 在 puksipuksi.blogspot.com............WELCOME at PUKSIPUKSI.BLOGSPOT.COM....

Monday, April 18, 2011

Tiananmen 1989


PeristiwaTiananmen 1989

Perjuangan Mahasiswa Cina Pro-demokrasi


Mahasiswa di Cina termasuk ke dalam golongan intelektual yang peranannya sangat penting dalam perjalanan sejarah Cina. Hampir semua peristiwa bersejarah di Cina memiliki kaitan dengan golongan intelektual, terutama mahasiswa. Mahasiswa dapat dianggap sebagai golongan masyarakat yang paling peka dan memiliki pengetahuan paling banyak tentang keadaan masyarakat. Mahasiswa sedikit banyak mengetahui keadaan di luar Cina yang membuat mereka dapat membandingkan antara kehidupan di luar Cina dan di dalam Cina sendiri. Dari masa ke masa, mahasiswa melakukan berbagai aksi menyuarakan protes dan kritik pada pemerintah. Hal ini mereka lakukan agar Cina tidak tertinggal dengan negara-negara lain.

Sejak 1949, Cina menganut paham sosialis-komunis dan tidak mengenal demokrasi. Mahasiswa yang telah mempelajari demokrasi dari negara-negara di luar Cina kemudian terdorong untuk membawa Cina menuju demokrasi. Kebijakan Empat Modernisasi yang dikeluarkan Deng Xiaoping membuat mahasiswa menjadi lebih leluasa untuk menekan pemerintah dalam mendemokratisasikan Cina. Pemerintah sendiri masih ingin berkuasa melalui partai tunggal, yaitu Partai Komunis Cina (PKC). Terjadilah pertentangan antara pemerintah yang masih menginginkan ideologi komunis dalam politik dengan mahasiswa yang menginginkan perubahan dalam bidang politik. Mahasiswa yang pro-demokrasi kemudian melakukan demonstrasi di lapangan Tiananmen pada tahun 1989 untuk menuntut diterapkannya demokrasi di Cina. Pemerintah menganggap aksi tersebut membahayakan negara dan melakukan “pembersihan” di lapangan Tiananmen. Aksi “pembersihan” tersebut kemudian memakan ribuan nyawa dan menjadi tragedi bagi bangsa Cina. Setelah peristiwa tersebut, mahasiswa tidak lagi terlalu nyaring bersuara menuntut penerapan demokrasi di Cina.

Menarik sekali untuk mengkaji pergerakan mahasiswa dari masa ke masa dengan Peristiwa Tiananmen sebagai pusatnya. Cina yang saat ini berubah menjadi negara besar seiring dengan perkembangan zaman mau tidak mau akan tersentuh oleh demokrasi. Saat ini jika membicarakan Cina dan demokrasi pasti akan membahas pergerakan mahasiswa pada tahun 1989 di Tiananmen. Peristiwa Tiananmen 1989 adalah titik puncak perjuangan mahasiswa dalam memperjuangkan demokrasi.

Pergerakan mahasiswa pro-demokrasi sebelumnya dimulai dengan adanya gerakan yang dikenal dengan nama Dinding Demokrasi (minzhu qiang) pada tahun 1978. Tahun ini juga merupakan awal dari pelaksanaan modernisasi dan dimulainya kepemimpinan Deng Xiaoping. Gerakan pro-demokrasi 1978 dimulai dengan penempelan poster-poster berkarakter besar (da zibao) yang berisikan kritikan terhadap Revolusi Kebudayaan (wenhua geming), Kelompok Empat (si renbang), dan kritikan lainnya. Para aktivis gerakan ini menerbitkan jurnal tak resmi yang disebut dengan jurnal bawah tanah (dixia kanwu). Jurnal ini kemudian menjadi alat utama dalam pergerakan demokrasi 1978.

Tuntutan dasar gerakan demokrasi 1978 adalah kebebasan warga negara, hak ekonomi, reformasi demokrasi., dan lain-lain. Mahasiswa kemudian menuntut untuk menambah satu elemen agar masuk ke dalam Empat Modernisasi, yaitu modernisasi demokrasi dalam pemerintahan.

Gerakan ini kemudian dianggap berjalan terlalu jauh bagi Deng Xiaoping. Ia mengatakan Dinding Demokrasi tidak bertujuan untuk menjaga stabilitas, persatuan, dan Empat modernisasi. Para pemimpin ini kemudian ditangkap karena dianggap berusaha menggulingkan kediktatoran proletariat. Pada desember 1978 gerakan Dinding Demokrasi ditutup, sedangkan Empat Prinsip Utama terus berjalan.

Berakhirnya gerakan Dinding Demokrasi tidak menghentikan gerakan mahasiswa pro-demokrasi. Tahun-tahun berikutnya terjadi gerakan mahasiswa dengan tutntutan yang sama. Pada tahun 1986 dimulai keterbukaan dalam bidang politik, pemimpin Cina mengumumkan adanya demokratisasi yang berarti adanya keterbukaan dan kebebasan yang lebih besar bagi kaum intelektual. Gerakan mahasiswa yang terjadi pada saat itu terjadi ketika Cina sedang mengumandangkan keterbukaan.

Untuk mendukung keberhasilan program Empat Modernisasi, pemerintah memanfaatkan orang-orang yang memiliki kemampuan dalam hal menyedot modal asing. Mereka umumnya adalah korban Pengawal Merah (hong weibing) pada masa Revolusi Kebudayaan yang ditarik ke pusat semenjak Deng Xiaoping berkuasa. Mereka memperoleh berbagai fasilitas untuk menarik investor asing, termasuk berbagai kemewahan yang tidak terjangkau rakyat banyak.

Setelah reformasi berjalan selama hampir satu dasawarsa, pada tahun 1985 muncul banyak dampak negatif. Pada tahun itu banyak kota yang kekurangan bahan makanan dan sistem ransum yang kembali diberlakukan. Ratusan pabrik menghentikan produksi karena kekurangan bahan baku. Setiap hari harga-harga naik yang menyebabkan serbuan massa untuk memborong stok barang yang dijual.

Proses modernisasi dan liberalisasi ekonomi memberikan dampak yang sangat besar bagi mahasiswa. Proses ini cenderung mengendurkan kontrol partai atas individu. Hal ini membawa pengaruh yang sangat besar pada golongan intelektual, mereka berpendapat liberalisasi ekonomi harus diimbangi dengan demokrasi politik. Politik pintu terbuka untuk dunia luar (kaifang) memberikan dampak yang besar bagi mahasiswa. Demi keberhasilan modernisasi, ribuan mahasiswa dikirim ke luar negeri untuk transfer teknologi. Ternyata pada saat yang sama terjadi pula transfer pemikiran. Mata mahasiswa terbuka lebar melihat kemajuan di luar dan ketertinggalan dari negara lain. Mahasiswa yang pulang ke Cina kemudian merasa sistem yang ada di Cina tidak sebaik di negara lain.

Adanya fasilitas istimewa yang diterima oleh segolongan orang yang memiliki hubungan dengan kader partai atau pejabat pemerintah, gaoganzidi, menimbulkan perasaan iri bagi beberapa mahasiswa. Di universitas dan akademi, mahasiswa tidak harus membayar kuliah. Bahkan beberapa perguruan tinggi memberikan bea siswa berdasarkan prestasi. Dalam situasi seperti itulah terjadi demonstrasi terbesar pertama pada masa kepeminpinan Deng Xiaoping.

Pada 5 Desember 1986, ribuan mahasiswa berdemonstrasi di Hefei untuk menuntut demokrasi yang lebih besar. Terjadinya demonstrasi ini merupakan reaksi dari dialog antara wakil PM Wan Li dengan wakil rektor Universitas Sains dan Teknologi Hefei, Fang Lizhi. Dalam dialog tersebut Wan Li meminta pimpinan universitas untuk memperketat kontrol terhadap mahasiswa. Fang Lizhi sendiri menolak permintaan dari Wan Li. “Universitas adalah mimbar yang bebas dan otonom, demikian pula ilmu pengetahuan,” jelasnya. Fang Lizhi melalui pidato-pidatonya menunjukan dukungannya terhadap mahasiswa. Dia menganggap mahasiswa adalah kekuatan yang progresif dalam proses dempokrasi. Pidato-pidato Fang Lizhi pada umumnya berisi kegagalan sistem sosialisme oleh Marx, Lenin, Stalin, dan Mao Zedong. Pemerintah kemudian menganggap Fang Lizhi telah menyebarkan liberalisasi borjuis di kalanghan mahasiswa dan menentang Empat prinsip utama. Karena aksi-aksinya itu dia dikeluarkan dari partai.

Pada 23 Desember 1986 di Beijing, sekitar empat ribu mahasiswa berdemonstrasi untuk menuntut diakhirinya sistem otokrasi. Gerakan itu memperoleh formula yang baru dengan tuntutan yang bobot politiknya mulai nyata, yaitu “demi demokrasi, akselerasi pembaharuan, dan kebebasan pers.”

Aksi pergerakan mahasiswa kemudian menjalar ke beberapa tempat. Ketika aksi menjalar ke Nanjing dan Shanghai terjadi bentrokan fisik antara mahasiswa dengan polisi. Pemerintah setempat melarang diadakannya demonstrasi dan akan memberikan sanksi bagi yang melanggarnya. Akan tetapi mahasiswa tampaknya tidak peduli, bahkan mereka merencanakan untuk menegakkan demonstrasi di Cina dengan mengadakan demonstrasi besar-besaran di Tiananmen pada tahun baru, 1 Januari 1987. Fang Lizhi pada saat itu berperan sebagai penghubung antar berbagai universitas dalam mengadakan berbagai pergerakan mahasiswa.

Demonstrasi mahasiswa di penghujung tahun 1986 menyebabkan PKC menghadapi pilihan yang sangat sulit. Demi modernisasi dan pertumbuhan ekonomi, rakyat harus diberi beberapa hak kebebasan. Hak kebebasan ini saat itu dianggap belum cukup bagi golongan inteletual. Di pihak lain, pemberian beberapa hak kebebasan akan mengendurkan cengkeraman partai atas individu dan melunturkan kesadaran ideologi rakyat atas paham komunis. Jika hal ini terus berlanjut yang disertai dengan adanya demonstrasi mahasiswa dan mulai berkembangnya ketidakpercayaan rakyat terhadap partai akan menyebabkan kedudukan PKC terus merosot.

Selanjutnya gerakan mahasiswa ternyata tidak bertambah besar dan akhirnya meredam sendiri. Harian Rakyat (Renmin Ribao) edisi 6 Januari 1987 menunjukan bahwa gerakan mahasiswa telah meredam. Gerakan demokrasi 1987 dapat dikatakan tenang. Mahasiswa tidak mengadakan gerakan apapun, pada saat itu terlihat bahwa proses pergerakan demokrasi lebih terpusat pada tulisan-tulisan dan pidato-pidato kaum intelektual yang dipengaruhi oleh pihak luar mahasiswa yang ingin menyebarkan liberalisasi borjuis, seperti itulah anggapan pemerintah mengenai pergerakan mahasiswa.

Pada kenyataannya terjadi perselisihan antara kelompok konservatif dengan kelompok reformis di dalam tubuh partai. Demonstrasi yang terjadi pada akhir tahun 1986 menyebabkan Hu Yaobang, Sekjen PKC, kehilangan jabatannya. Posisinya kemudian diisi oleh Zhao Ziyang yang pada waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri. Hu Yaobang sendiri tetap menjabat sebagai anggota politbiro PKC.

Tuntutan demokrasi di Cina terus berkembang, tahun 1988 timbul kembali gerakan mahasiswa prokebebasan sebagai lanjutan dari gerakan tahun 1986. Pada tahun 1988 poster-poster dinding mulai bermunculan di berbagai universitas dengan tuntutan kebebasan pers, prioritas pendidikan, dan sistem hukum yang lebih baik.

Gerakan-gerakan mahasiswa sebelum gerakan 1989 memberikan pemantik terhadap gerakan 1989. Tuntutan mahasiswa yang terus tidak mendapatkan tanggapan dari pemerintah menyebabkan terus berlanjutnya gerakan mahsiswa sampai terjadinya Peristiwa Tiananmen 1989.

Pada 20 Maret 1989, Hu Yaobang ,sebagai anggota Politbiro PKC, menghadiri sidang Komite Rakyat Nasional (KRN). Pada 8 April 1989, Hu Yaobang juga hadir dalm rapat, tetapi tiba-tiba dia terkena serangan jantung pada saat terjadi perdebatan antar anggota. Sabtu 15 April 1989 pukul 07.53 pagi, Hu Yaobang meninggal dunia.

Keesokan harinya, puluhan poster yang menyatakan bela sungkawa tersebar di sekitar kampus Beida, Qinghua, dan Universitas Rakyat Beijing. Dari isi poster yang tersebar di kampus-kampus tersebut dapt terlihat nada pesimistis mengenai kebangkitan pergerakan mahasiswa.

Pada 17 April 1989, 700 mahasiswa Beida mempelopori demonstrasi untuk mengenang Hu Yaobang di lapangan Tiananmen. Gerakan ini kemudian melonjak menjadi ribuan pada siang harinya, sebagian besar merupakan mahasiswa yang berasal dari Beijing dan Shanghai. Mahasiswa menuntut turunnya beberapa anggota politbiro.

Para mahasiswa kemudian memusatkan perhatian pada peringatan Gerakan Empat Mei yang akan datang. Tidak lama setelah kematian Hu Yaobang, mahasiswa mulai mengajukan beberapa tuntutan. Walaupun pada awalnya poster-poster yang mahasiswa tampilkan tampak tak terkoordinir dan menulis semaunya, tetapi dari hari ke hari gerakan itu semakin menemukan bentuknya.

Pada akhirnya terumuskanlah tujuh tuntutan utama mereka, yaitu merehabilitasi Hu Yaobang, menolak kampanye terhadap “liberalisasi borjuis” dan “pencemaran spritual”, mengumumkan penghasilan dan kekayaan pemimpin beserta keluarganya, kebebasan berbicara dan kemerdekaan pers, meningkatkan dana pendidikan, menaikkan gaji guru, menghapuskan larangan arak-arakan di jalanan, dan menghapuskan larangan pemberitaan pers mengenai pergerakan mahasiswa.

Tanggapan pemerintah terhadap gerakan ini adalah pernyataan dalam Harian Rakyat edisi 26 April bahwa gerakan ini mahasiswa ini dapat menimbulkan kekacauan. Pernyataan dalam Harian Rakyat tersebut ditulis oleh Deng Xiaoping. Deng Xiaoping mencap gerakan mahasiswa tersebut sebagai usaha untuk melenyapkan kepemimpinan PKC dan sistem sosialis. Deng menghapus semua kata xuechao (gerakan mahasiswa) dan menggantinya dengan dongluan (pengacau). Dia juga mengirim pasukan untuk mengakhiri gerakan tersebut meskipun harus menggunakan kekerasan.

Oleh karena tujuan mahasiswa bukanlah untuk menjatuhkan partai, pada 27 April, mahasiswa mengeluarkan slogan baru yang berbunyi “dukung kepemimpinan PKC” dan “hidup demokrasi dan kebebasan.” Hal ini digunakan sebagai tameng bagi mahasiswa untuk melanjutkan pergerakan akibat adanya tulisan Deng Xiaoping di Harian Rakyat yang menuduh mahasiswa mengganggu kepemimpinan PKC.

Bulan Mei 1989 lebih difokuskan untuk memperingati Gerakan Empat Mei dengan diadakannya “salon demokrasi” dan pidato di kampus-kampus untuk membahas demokrasi. Tuntutan mahasiswa yang utama dalam gerakan ini adalah kebebasan pers. Mereka menganggap pers dapt menampilkan sisi yang benar dari pihak lain sehingga masyarakat lain akan ikut mendukung gerakan mereka. Gerakan mahasiswa mandapatkan dukungan yang besar dari kalangan pers. Pada saat itu banyak sekali beredar koran-koran dan siaran radio yang mendukung demokarasi dan kebebasan. Pemimpin Cina seperti Zhao Ziyang turut mendukung pergerakan mahasiswa untuk diadakannya reformasi pers. Zhao Ziyang menganggap pers harus dapat memainkan peranan sebagai pengawas pejabat negara. Hal ini sangat diperlukan untuk memberantas korupsi, kolusi, dam nepotisme yang telah membudaya di Cina pada saat itu.

Gerakan mahasiswa ini mendapatkan dukungan dari masyarakat lain, khususnya pekerja yang ikut bersma mahasiswa melakukan gerakan untuk memperingati Gerakan Empat Mei. Dari pimpinan PKC yang reformis pun mahasiswa mendapatkan dukungan. Keunikan aksi pergerakan mahasiswa tahun 1989 yang paling menonjol adalah adanya aksi mogok makan. Aksi ini berhasil menarik dukungan dan simpati dari banyak pihak.

Mahasiswa selama mengadakan gerakannya terlihat mendapat dukungan dari pihak luar mahasiswa. Dukungan ini datang dari kaum intelektual Cina. Kaum intelektual Cina memiliki tuntutan yang sama dengan mahasiswa berupa pemerintahan yang demokratis. Karena dukungan kaum inteletual ini pemerintah mencurigai bahwa mahasiswa telah diperalat oleh pihak tertentu untuk kepentingannya sendiri.

Pada tanggal 15—18 Mei 1989, negeri Cina kedatangan Mikhail Gorbachev yang menjabat Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Sovyet (PKUS). Orang ini adalah tokoh yang kemudian melakukan reformasi dan keterbukaan di Uni Sovyet. Uni Sovyet sendiri pada akhirnya bubar setelah kebijakan reformasi dan pintu terbuka diterapkan di Uni Sovyet. Kunjungan Gorbachev turut mempengaruhi berlangsungnya pergerakan mahasiswa di Cina yang menuntut diadakannya perubahan.

Kunjungan Gorbachev ini dimanfaatkan oleh para mahasiswa untuk menekan pemerintah agar gerakan mereka diakui. Tuntutan mahasiswa agar kebebasan dan demokarsi diterpkan di Cina semakin kencang karena Uni Sovyet yang merupakan negara komunis besar melakukan reformasi di bawah pimpinan Gorbachev. Gorbachev dalam pidatonya di Cina mengatakan bahwa reformasi ekonomi yang sedang dilakukan Cina pada saat itu ridak akan berjalan tanpa dukungan dari perubahan sistem politik. Kunjungan Gorbachev pun dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk menunjukan aksi mereka kepada dunia luar. Bagi pemerintah sendiri kunjungan Gorbachev ke Cina membuktikan bahwa kedudukan Cina di mata Uni Sovyet dan dunia internasional telah naik.

Kaum konservatif di pemerintahan semakin kuat, sedangkan kaum reformis semakin terdesak. Zhao Ziyang dan beberapa pendukungnya berusaha menghindari pertumpahan darah dengan tidak mau memakai kekuatan militer dalam menghadapi mahasiswa. Kaum reformis akhirnya benar-benar tersudut ketika PM Li Peng, tokoh konservatif, menandatangani Undang-undang Darurat pada 20 Mei 1989.

Pemberlakuan Undang-undang Darurat benar-benar mampu membuat mahasiswa gentar. Mahasiswa yang berasal dari Beijing menyerukan mahasiswa lain untuk menghentikan gerakan, tetapi mahasiswa yang berasal dari daerah lain tidak ingin kedatangannya di Beijing sia-sia dan terus melanjutkan aksi.

Pasukan memang benar-benar dikerahkan untuk menjalankan Undang-undang Darurat, tetapi pasukan itu hanya duduk-duduk di sekitar mahasiswa dan tidak melaksanakan perintah untuk membersihkan lapangan Tiananmen. Pasukan yang dikerahkan itu adalah pasukan ke-38 yang berkedudukan di Beijing.

Pasukan ke-38 dianggap gagal dalam menjalankan tugasnya, sehingga dikerahkan pasukan divisi 27 yang berangkat dari Shijiazhuang. Tentara kemudian membentuk satuan-satuan kecil yang dipersenjatai AK-47 dan beberapa peralatan tempur lainnya. Tentara terlihat seperti akan menghadapi perang dengan musuh yang juga tentara, padahal yang akan dihadapi tentara pada saat itu adalah mahasiswa yang hanya menggunakan batu sebagai senjata. Pada 3 Juni 1989 pukul 23.35 mulai terdengar tembakan. Tembakan-tembakan yang terjadi selanjutnya membuat suasana menjadi hiruk pikuk. Sejak 4 Juni 1989, serangan terhadap para demonstran benar-benar dimulai. Kemah-kemah yang dipakai demonstran dibakar dan dilindas tank baja. Tentara kemudian menembak secara membabi buta kepada semua orang yang ada di sekitar Tiananmen. Tentara tidak mempedulikan apa pun dan menembak sesuka hati kepada orang-orang yang ada di hadapannya, tak peduli mahasiswa atau rakyat biasa. Hal yang paling hebat dari gerakan tentara dalam membersihkan Tiananmen adalah dikerahkannya tank-tank lapis baja secara teratur dan rapi seperti akan berperang. Hal ini berjalan sampai beberapa hari sampai tidak ada satu pun orang yang ada di Tiananmen.

Peristiwa Tiananmen yang terjadi pada 3 dan 4 Juni 1989 adalah sebuah tragedi besar bagi demokrasi di Cina. Mahasiswa sebagai motor penggerak berbagai aksi yang mendukung demokrasi ditembak secara membabi buta ketika melakukan aksi demonstrasi di Lapangan Tiananmen. Wali Kota Beijing saat itu Chen Xitong mengatakan puluhan tentara China tewas, 6.000 tentara terluka, dan 200 warga sipil (termasuk 36 mahasiswa) tewas serta 3.000 terluka. Tentunya terdapat perbedaan estimasi jumlah korban Peristiwa Tiananmen, yaitu 400—800 rakyat biasa tewas, 7000 mahasiswa tewas, dan sekitar 7000—10000 orang (orang biasa, mahasiswa, dan tentara) luka-luka.

Pergerakan mahasiswa yang menuntut demokrasi dan kebebasan dimulai sejak 1978, ketika Deng Xiaoping mulai berkuasa. Deng Xiaoping kemudian melaksanakan kebijakan reformasi ekonomi dan liberalisasi ekonomi, tetapi hal ini tidak diikuti dengan reformasi dalam bidang politik. Deng masih mempertahankan dominasi PKC sebagai satu-satunya partai yang berkuasa. Hal ini membuat mahasiswa merasa perlu untuk melakukan aksi demonstrasi menuntut pelaksanaan demokrasi di Cina.

Pergerakan mahasiswa mengalami beberapa pasang surut. Tahun 1989 merupakan puncak dari pergerakan mahasiswa dengan mengadakan demonstrasi besar-besaran di Lapangan Tiananmen. Hal ini membuat pemerintah, kaum konservatif, merasa dominasi PKC dalam pemerintahan dan ideologi komunis terancam. Deng Xiaoping sendiri merasa takut kalau aksi mahasiswa tersebut berhasil akan menciptakan luan atau kekacauan dan membuat para pimpinan PKC menjadi tahanan rumah.

PM Li Peng yang berasal dari golongan konservatif berhasil menekan PM Zhao Ziyang untuk mundur dan mengesahkan Undang-undang Darurat yang menyebabkan terjadinya pembantaian di Lapangan Tiananmen. Tentara divisi 27 menyerang mahasiswa dengan peralatan tempur dan memberangus semua pihak yang memiliki kaitan dengan aksi di Tiananmen.

Berakhirnya pergerakan mahasiswa setelah Peristiwa Tiananmen merupakan suatu langkah mundur bagi Cina saat itu yang sedang gencar melakukan liberalisasi ekonomi. Sampai saat ini belum terjadi lagi aksi mahasiswa sebesar aksi yang terjadi di Tiananmen 1989. Seiring dengan terbukanya Cina pada dunia luar dan semakin majunya ekonomi negara itu, tuntutan demokratisasi yang lebih besar pasti tidak akan terelakkan lagi. Dengan adanya pergantian kepemimpinan di Cina, dari Jiang Zemin ke Hu Jintao, menarik untuk disimak ke depan apakah demokratisasi di Cina akan menemui kekerasan dari kaum konservatif seperti Peristiwa Tiananmen 1989; atau pergerakan yang menuntut demokratisasi dalam skala besar akan terjadi lagi dan berhasil; atau mungkin melalui jalan yang mulus tanpa ada pertentangan dari berbagai pihak dan aksi-aksi. Apa pun kemungkinannya, mahasiswa pasti akan tetap terlibat sebagai motor penggerak dan aktor utama.

Daftar acuan :

o Akbar, Ahmad. 1991. Faksionalisme di sekitar Peristiwa Tiananmen. Skripsi sarjana. FSUI: Depok

o Black, George and Munro, Robin. 1993. Black Hands of Beijing: Lives of Defiance in China's Democracy Movement. John Wiley & Sons, Inc: New York

o Celerina, Dewi Hartati. 1999. Peranan mahasiswa dalam gerakan pro-kebebasan 1989. Skripsi sarjana. FSUI: Depok

o Joseph, William A. 1992. China Briefing, 1991. Westview Press: Boulder

o Zhang Liang. 2001. Tiananmen Papers. Public Affairs Books of New York: New York

o www. Erabaru.or.id

o www. Kcm. com

o www. Wikipedia.com

2 comments:

  1. Tragedi Tianamen adalah tragedi kemanusiaan

    ReplyDelete
  2. info menarik, komentar juga ke blog saya www.belajarbahasaasing.com

    ReplyDelete