....欢 迎 您 在 puksipuksi.blogspot.com............WELCOME at PUKSIPUKSI.BLOGSPOT.COM....

Monday, April 18, 2011

SEJARAH REVOLUSI KEBUDAYAAN: DEMAOISASI - REFORMASI

SEJARAH REVOLUSI KEBUDAYAAN


Revolusi Kebudayaan dan berbagai program yang bersifat pergerakan massa yang dicetuskan oleh Mao telah menyebabkan penderitaan bagi rakyat Cina. Pada masa revolusi kebudayaan, rakyat Cina mengalami penderitaan dan kemunduran yang luar biasa karena adanya usaha-usaha untuk menjalankan berbagai pemikiran Mao. Revolusi Kebudayaan adalah produk model pembangunan Maois. Pembangunan model Mao mengutamakan pemanfaatan sumber daya manusia Cina yang melimpah. Mao mengutamakan gerakan massa dan voluntarisme. Rakyat mau tidak mau dipaksa untuk menyetujui kebijakan Mao. Bagi yang melawan akan dicap kontrarevolusi. Mao juga menganut paham sentralisme demokrasi. Semua kebijakan negara diatur oleh suatu “kediktatoran proletariat”, dalam hal ini Partai Komunis Cina (PKC). Kebijakan Mao yang paling jelas terlihat adalah kultus individu. Mao memposisikan dirinya sebagai “Bapak Revolusi Cina” yang harus selalu dipuja dan dibanggakan. Maosime sebagai buah pikiran Mao dijadikan agama. Semua pernyataan-pernyataan Mao yang dimuat di dalam “buku merah” harus dihafalkan. Pada masa Revolusi Kebudayaan, “buku merah” bisa dianggap sebagai kitab suci orang Cina. Mao memang harus diakui sebagai seorang politikus ulung. Mao sangat mengutamakan pembangunan ideologi. Sayangnya, Mao melupakan pembangunan ekonomi sehingga selama kepemimpinan Mao perekonomian Cina sangat buruk. Pada tahun 1976 Mao Zedong meninggal dunia dan terjadi perubahan kepemimpinan di Cina.

Berkebalikan dengan Mao Zedong yang Sosialis Romantis, Deng Xiaoping adalah seorang realis. Dalam kebijakannya terdapat pemikiran baru yang berupa Demaoisasi dan Reformasi untuk membawa masyarakat Cina menuju kemakmuran. Sebenarnya Mao dan Deng memiliki satu tujuan yang sama: mengejar ketertinggalan Cina di segala bidang. Namun demikan, cara yang ditempuh kedua pemimpin ini sangat bertolak belakang. Mao lebih mengutamakan pembangunan ideologis melalui kampanye dan mobilisasi massa. Sementara itu, Deng yang beraliran pragmatis lebih menekankan pada pembangunan ekonomi. Kebijakan Deng yang bertolak belakang dengan kebijakan Mao bukannya tanpa kontroversi. Maoisme sebagai sebuah pemikiran sudah tertanam di otak setiap manusia Cina. Konflik antara pengikut Maoisme dan golongan pragmatis dalam tubuh PKC juga tidak begitu saja berhenti dengan menginggalnya Mao. Konflik ini semakin meruncing karena terjadi perebutan kekuasaan antara dua kubu tadi. Deng sebagai wakil kubu pragmatis, setelah mengalami jatuh bangun akhirnya berhasil menjadi pucuk pimpinan PKC. Deng dengan berbagai program pembangunan ekonominya berhasil membawa Cina berkembang menjadi masyarakat yang disegani di dunia.


Latar Belakang Demaoisasi dan Reformasi

Demaoisasi dimulai sejak musim semi 1973 ketika Deng Xiaoping direhabilitasi oleh Perdana Mentri Zhou Enlai. Deng kemudian diangkat menjadi anggota Komite Sentral dalam kongres Partai Komunis Cina ke-10.

Demaoisasi adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mendeskriditkan Maoisme, serta praktek kultus individu pada diri Mao yang dilakukan oleh Mao dan pengikutnya. Usaha “deradikalisasi” pemikiran Mao mulai menjurus ke arah “demaoisasi” yang berusaha menghapuskan berbagai bentuk kebijaksanaan Mao. Mao dan maoismenya bukan tanpa lawan pada era-era berikutnya yang diisi oleh generasi-generasi muda Cina mulai secara perlahan menentang kebijakan Mao. Mao yang dikenal sebagai seorang pemimpin kharismatik sehingga terjadi pengkultusan individu terhadap dirinya yang seolah-olah menganggap dia sebagai seorang pahlawan besar mulai dikaji ulang. Sebagian kalangan merasa hal itu terlalu berlebihan karena apa yang telah dicapai oleh Mao tidak akan berhasil seperti sekarang ini tanpa bantuan dari rekan-rekannya. Semula orang berpikir apa yang dikatakan oleh Mao selalu benar, kini pemikirannya mulai dikaji ulang. Semua kebijakannya tentang negara sosialis yang sukses mulai diragukan sebagai sebuah utopia seperti layaknya bangsa-bangsa yang menganut paham sosialis komunis. Hal ini menyebabkan ketakutan akan hancurnya negara Cina cepat atau lambat, seperti hal yang dialami oleh Uni Soviet. Nyatanya semua kebijakan Mao membuat Negara Cina tertinggal jauh dari Negara-negara lainnya, bahkan dapat dikatakan sebagai negara miskin. Generasi muda Cina merasa perlu adanya perubahan agar Negara Cina tidak terus tertinggal. Dari semua usaha yang dilakukan oleh generasi muda Cina dalam usaha demaoisasi terdapat sebuah kesulitan dalam menjatuhkan Mao terutama karena besarnya kharisma yang dimiliki Mao dalam menarik simpati banyak orang. Namun sudah terlalu banyak orang Cina yang mulai merasa bosan dengan revolusi yang terus menerus diteriakkan oleh Mao.

Dalam sebuah artikel Harian Rakyat tanggal 17 Maret 1978, Luo Ruiqing menyebut salah satu “sifat baik” perdana menteri terdahulu, yaitu tidak pernah mengizinkan rumah tempat lahirnya dijadikan tempat keramat yang dikunjungi banyak orang. Artikel ini merupakan serangan terselubung terhadap pengkultusan individu terhadap Mao yang tampaknya dicoba lagi oleh Hua Guofeng untuk dipraktekkan terhadap dirinya sendiri untuk merebut simpati rakyat. Dari kalangan seniman dan sastrawan pun muncul suatu tema baru yang kontroversial dalam karya-karya seni terutama setelah terbit buku Shang Hen (gores luka) pada pertengahan tahun 1978. Buku ini beserta karya-karya seni yang menyusul kemudian, membeberkan “sisi gelap” kehidupan di masa revolusi kebudayaan yang bisa ditafsirkan sebagai kecaman terhadap kebijakan Mao ketika itu. Sejak akhir tahun 1970-an, proses demaoisasi memang dijalankan di segala segi. Dalam bidang politik dan pendidikan diberitakan bahwa tidak semua apa yang dikatakan Mao benar. Dalam beberapa hal, sering kali Lin Biao dan klik Jiang Qing mencatut nama dan ajaran Mao untuk ambisi politik mereka dalam persiapan merebut kekuasaan. Kampanye tadi dikombinasikan dengan membuat citra Mao sedikit buram. Semua itu merupakan kampanye terencana tak langsung untuk mendiskreditkan Mao. Kampanye itu dilakukan dengan metode membunuh Mao dan maoisme dengan maoisme, dan dijalankan dengan jubah maoisme. Barangkali dengan melangsungkan kongres partai dan mengumumkan hasilnya secara terbuka, Deng dan kawan-kawan berpendapat waktunya sudah tepat untuk menjalankan hal-hal yang berlawanan dengan ajaran Mao secara institusional.

Ada empat masalah politik yang menjadi tema beberapa kongres partai, yakni perubahan kontitusi, penyusutan dan tertib organisasi, regenerasi pimpinan, dan rencana pelaksanaan kampanye pembetulan atau retifikasi. Masalah regenerasi memang merupakan hal yang mendesak. Para pemimpin PKC masih terdiri dari generasi revolusi, artinya mereka yang bergabung dengan partai sekitar masa Long March (pertengahan tahun 1930-an) dan dalam periode Yan’an (sekitar awal sampai petengahan tahun 1940-an).

Dulu, pikiran Mao Zedong selain diangap sebagai titik tolak teoritis, juga dianggap sebagai pegangan praktis melakukan revolusi di segala bidang ideologi maupun hal-hal yang lebih konkret. Melihat pada perkembangan sekarang, kita cenderung untuk mengatakan bahwa Maoisme tidak lagi dianggap sebagai petunjuk praktis. Ia hanya akan dipandang sebagai ideologi murni belaka.


Arah Kebijakan Deng Xiaoping

Deng Xiaoping lahir di propinsi Sichuan pada tanggal 22 Agustus 1904. Ia menuntut ilmu sebagai mahasiswa di Prancis pada tahun 1930 dan bergabung kedalam Partai Komunis Cina disana. Ia termasuk salah seorang kader yang mengikuti Long March pada tahun 1934 sampai 1935. Karir Deng sebagai administrator dimulai pada tahun 1958 ketika ia diangkat sebagai Sekjen PKC. Tahun 1966, masa awal revolusi kebudayaan ia dituduh sebagai “pejalan kapitalis” dan dikucilkan dari lingkungan partai. Pada tahun 1973 namanya direhabilitasi dan diangkat menjadi wakil PM. Kampanye melawan Deng Xiaoping dimulai sejak 1975 yang dimulai dengan poster dinding dan demonstrasi yang dilakukan secara terselubung. Pada tahun 1976 terjadi peristiwa Tiananmen dalam rangka mengenang kematian Zhou Enlai, ratusan orang berdatangan untuk memperingati kematian Zhou Enlai itu yang bertepatan dengan perayaan Qing Ming, keesokan paginya para pendukung Zhou marah karena berbagai poster dan spanduk untuk memperingati Zhou dipindahkan oleh polisi. Mereka mengkritik Mao dan pemimpin radikal Revolusi Kebudayaan. Akibat dari demonstrasi ini Komite Sentral mengumumkan bahwa lembaga ini akan menyingkirkan Deng Xiaoping atas nama Mao Zedong. Pada hari yang sama Komite Sentral mengangkat Hua Guofeng untuk menggantikan Deng sebagai wakil Sekretaris Jendral Partai Komunis Cina. Sementara itu mulai tersebar kampanye anti Deng. Deng dituduh memutarbalikkan keberhasilan Revolusi Kebudayaan dan menyebarkan kapitalisme di Cina. Pada bulan Oktober 1976 Mao Zedong meninggal dunia yang menyebabkan kekuasaan para pendukung Mao semakin melemah sampai pada akhirnya semua anggota “Gang of Four” ditangkap. Para anggota “Gang of Four” terdiri atas Jiang Qing, Zhang Chungqiao, Wang Hongwen, Yao Wenyuan. Mereka dituduh melakukan berbagai kejahatan politik di Cina pada saat itu, seperti mengubah berbagai pernyataan Mao, menjatuhkan Lin Biao untuk menyelamatkan kedudukan mereka sendiri, dan mengorganisasi kekuatan militer sendiri. Deng kemudian direhabilitasi kembali dan masuk kembali ke dalam lingkaran kekuasaan di Cina.

Pada tahun 1975 Zhou Enlai dan Deng Xiaoping memperkenalkan 4 Modernisasi di Cina. “Gang of Four” kemudian berusaha menjegal program ini dan menjatuhkan kedua tokoh pengagasnya. Pada bulan Oktober 1976 Mao meninggal dan semua anggota “Gang of Four” ditangkap. Deng kemudian direhabilitasi dan gagasan 4 Modernisasi diluncurkan. Bulan Agustus 1976 di Kongres Partai ke-11 Deng memperkenalkan kebijakan 4 Modernisasi yang terdiri dari bidang:

1. Pertanian

2. Industri

3. Ilmu pengetahuan dan teknologi

4. Pertahanan nasional

Dalam prakteknya program-program ini mengedepankan masuknya aliran listrik di pedesaan, otomatisasi industri, wajah ekonomi Cina baru, dan penguatan kemampuan pertahanan militer.

Pada bulan Februari 1978, Presiden Hua Guofeng memeperkenalkan rencana 10 tahun yang berlangsung pada periode 1976—1985 dan berisi 120 proyek. Banyak dari proyek yang diperkenalkan bertujuan untuk kembali membangun negeri Cina dari keterpurukan setelah Revolusi Kebudayaan.

Selama kurang lebih sepuluh tahun pada awal reformasi, pihak pemimpin partai tidak berani mengotak-atik ideologi resmi partai maupun negara, Deng Xiaoping juga tidak berani untuk melakukannya. Ketika para mahasiswa berdemonstrasi menuntut liberalisasi dan demokrasi, pada tahun 1979 ia dengan tegas mengeluarkan fatwa tentang “4 prinsip dasar” yang pada pokoknya tetap mempertahankan ideologi komunisme. Ketika Deng ingin mendorong perubahan yang cepat, ia meminjam kata-kata Mao Zedong, yaitu “Shishi Qiushi”( mencari kebenaran dari fakta). Dalam konteks reformasi waktu itu, Deng mendorong rakyat Cina dan kader-kader partai untuk mencari “kebenaran”, jangan mencari dari ideologi atau dogma-dogma partai. Jika faktanya memang tidak harus memeluk kapitalisme, maka itulah kebenaran. Ideologi bukanlah fakta, dan juga bukanlah kebenaran.

Seperti Mao dahulu, Deng Xiaoping kini mendapat gilirannya. Deng juga melancarkan “Lompatan Jauh ke Depan”tetapi dengan cara-cara yang rasional. Deng tidak memilih strategi “revolusi permanen” tetapi sistem ekonomi pasar. Deng memilih jalan kapitalis untuk mereformasi ekonomi Cina. Fenomena ini tentu saja menghancurkan prinsip sosialisme dan timbullah kemacetan ideologis: secara resmi masih menyatakan diri sosialis, tetapi secara tidak resmi dipraktikan ekonomi kapitalis. Hal ini dulu tidak dilakukan oleh Mao yang secara konsisten menolak pemakaian sistem ekonomi pasar. Kegagalan “Lompatan Jauh ke Depan” bukanlah kegagalan ideologis. Dampak yang ditimbulkan oleh reformasi ekonomi Deng justru menohok jantung hati ideologi. Inilah yang dirasakan sebagai “kemacetan ideologis” yang harus diatasi.

Sasarannya sekali lagi adalah golongan intelektual dan seniman. Itu jelas sekali setelah dalam beberapa bulan terakhir ini media massa muncul dengan kritik-kritik pedas kepada para penulis, pembuat film, pemikir, dan ahli-ahli ilmu sosial terkemuka yang dituduh murtad dari garis partai atau melawan pimpinan. Dalam beberapa kasus, cara-cara revolusi kebudayaan dipakai. Tertuduh dipaksa menulis kritik diri, mengaku salah, kemudian tutup mulut. Dari semula, gejala kekacauan dalam operasi antikanan itu sudah kelihatan dan menjurus ke tindakan ekstem. Sepucuk surat pembaca yang dimuat di Harian Pemuda, menceritakan tentang pengalaman pengirimnya, seorang gadis. Ketika harus berurusan dengan kantor walikota Beijing, ia tidak dilayani karena rambutnya terurai sebahu. Setelah mengikatnya dengan karet gelang dan mencopot semua perhiasannya ia diperbolehkan masuk. Di akhir suratnya, gadis itu bertanya, “Apakah sepotong karet gelang sangat penting dalam menentukan ideologi seseorang.”

Pada bulan Agustus 1977 diadakan Kongres PKC ke-11 yang memutuskan bahwa periode “11 tahun Revolusi Kebudayaan” (1965—1976) telah berakhir. Komposisi keanggotaan Komite Sentral tampak berubah pada masa ini, yaitu bertambahnya dominasi militer di dalam partai.

Deng mulai berusaha melanjutkan program modernisasinya dengan membenahi aparat militer dan menerapkan profesionalisme dan spesialisasi dalam organisasi pemerintahan. Program-program pemerintah diprioritaskan di bidang pendidikan dan latihan, sementara media massa didominasi oleh kampanye program Empat Modernisasi dengan penekanan terhadap sains dan teknologi. Salah satu realisasi yang paling terkenal adalah diumumkannya pembukaan kembali sistem ujian masuk sekolah dan universitas.

Munculnya berita-berita tentang Deng pada akhir 1977 di media-media massa menunjukkan adanya penilaian positif atas program-program modernisasi yang dijalankan pemerintah.

Deng Xiaoping yang menjadi ketua eksekutif Konferensi Konsultatif Politik Republik Rakyat Cina (KKPRC) mengumumkan bahwa akan ditegakkannya kembali kontrol partai dengan mengutamakan pengembangan ekonomi. Secara umum sidang-sidang tersebut mencerminkan upaya pemerintah meninggalkan kebijakan yang pernah ditempuh Mao terutama di masa Revolusi Kebudayaan.

Pemerintah cenderung kembali kepada kebijakan yang pernah ditempuh sebelum tahun 1960-an. Pada Februari 1978 suatu rencana pembanguanan sepuluh tahun diajukan untuk meningkatkan pelaksanaan program empat modernisasi yang disertai dengan peminjaman modal asing. Program seperti ini juga pernah diajukan pada tahun 1960 dengan slogan “ Berdiri di Atas Kaki Sendiri” namun ketika itu program tersebut tidak berjalan dengan baik. Pada tahun 1978 Deng memberikan pemikiran untuk menjaga para professional, baik kader partai maupun nonpartai, untuk tidak diperlakukan sebagai “orang luar”.

Deng memberikan dukungan terhadap kampanye demokrasi dan juga mengajukan suatu reformasi yang memberi kebebasan terhadap individu-individu dalam pemanfaatan energi-energi produktif yang ada. Dalam bidang pertanian ia mengizinkan para petani untuk menjual kelebihan produksi mereka kepada pemerintah dengan harga tinggi. Reformasi ini mengarah kepada sistem perekonomian yang berorientasi ke pasar bebas. Deng juga berusaha memisahkan dunia ekonomi dari dunia politik. Kini insentif material menjadi lebih berperan dibanding insentif moral politik.

Meski demikian, walaupun terdapat revisi atas jalan yang ditempuh Cina dalam membangun Negara sosialis menuju massa komunis, pada umumnya semua pihak termasuk Deng tidak ingin lepas dari pemikiran Mao. Deng tidak dapat mengabaikan beberapa pikiran Mao yang telah berakar dalam kehidupan rakyat dan tidak mudah untuk dihilangkan begitu saja.

Dalam beberapa aspek, partai memberi kebebasan dengan batas-batas yang belum ditentukan di bidang kebudayaan, ekonomi, dan lain-lain. Dukungan partai dalam kebebasan mengemukakan pendapat telah menimbulkan reaksi yang beragam dari masyarakat. Sebenarnya, Deng dan Mao menggunakan cara yang sama dalam komunikasi politik dengan cara memanfaatkan tradisi poster dinding yang sangat efektif untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya.

Demaoisasi dan reformasi terjadi dilatarbelakangi oleh gagalnya berbagai kebijakan Mao yang lebih mengutamakan pembangunan ideologi melalui gerakan-gerakan yang bersifat politis dan megutamakan pergerakan massa, terutama Revolusi Kebudayaan. Kebijakan ini akhirnya dikaji ulang oleh para penerus Mao, seperti Deng Xiaoping, yang memiliki pandangan yang cukup bertolak belakang dengan pemikiran Mao.

Deng Xiaoping yang beberapa kali megalami naik turun jabatan pada akhirnya berhasil naik menjadi Sekjen PKC dan membawa perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan di Cina. Namun demikian, kebijakan reformasi Deng hanya terbatas pada reformasi ekonomi. Deng dengan tegas menyatakan bahwa tidak terdapat reformasi politik. Hal ini membuktikan bahwa Cina masih menganut ajaran sosialisme. Berbagai kebijakan Deng kemudian terbukti dapat membawa Cina menjadi negara yang makmur dan disegani di dunia.

2 comments: