Berada di kota-kota besar China jaman sekarang, sangatlah jarang bisa menemui orang menggendong anak kecil. Bandingkan dengan kondisi di Indonesia (di setiap tempat dan setiap waktu), di mana sangat gampang menjumpai tiap orang tua membawa lebih dari satu anak saat antre minyak, jalan-jalan di mall, naik bis, pergi taman hiburan, dan sebagainya.
Tahun 1979, pemerintah menjalankan kebijakan "Keluarga Beranak Satu" (dalam Mandarin disebut jihua shengyu zhengce) yang dijalankan dengan tegas. Pasangan yang setuju membatasi keluarga hanya satu anak, menerima berbagai tunjangan. Sementara pasangan yang (ketahuan) memiliki anak kedua, gaji mereka dikurangi dan anak yang bersangkutan tidak bisa mendapatkan akte lahir sehingga akan menyulitkan anak tersebut saat dewasa. Akhirnya untuk mendapatkan akte lahir, tetap harus mengaku dan membayar denda. Pengecualian ada pada penduduk desa, anak yang lahir cacat, dan pada etnis minoritas. Sebagai informasi, etnis minoritas di China adalah etnis di luar etnis Han. Mayoritas orang Tionghua yang tersebar di dunia (termasuk Indonesia) adalah keturunan etnis Han. Etnis minoritas seperti Tibet, Xinjiang, Yunnan (dalam buku sejarah dianggap nenek moyang orang Indonesia). China memiliki 55 etnis minoritas dengan jumlah penduduk mencapai 90 juta orang atau 7 persen dari total penduduk.
Kebijakan ini menentang kepercayaan mendalam bahwa sebuah keluarga harus punya anak lelaki untuk meneruskan garis keturunan. Pelaksanaan kebijakan ini mengakibatkan meluasnya praktik aborsi dan pembunuhan bayi. Pengecualian yang lebih luas diperkenalkan tahun 1984. Sejak itu kebijakan ini dijalankan penuh di wilayah-wilayah perkotaan, namun kurang jalan di pedesaan. Untuk Hongkong, Macau, dan Tibet tidak berlaku kebijakan ini.
Orang-orang kaya membayar pemerintah untuk bisa melahirkan anak kedua, ketiga, dan seterusnya. Saat ini, ada 23 juta anak di China yang "ditinggalkan" orang tuanya karena orang tuanya pergi mencari kerja di kota besar dengan harapan penghasilan yang lebih baik. Anak-anak ini tinggal di desa bersama kakek dan neneknya, dan seringkali mereka hanya berjumpa dengan orang tuanya 3 tahun sekali. Di China, saat ini makin banyak orang muda yang tidak ingin lagi tinggal di desa. Jadi, jika kita pergi ke China pada hari-hari biasa (bukan musim Tahun Baru Imlek), mayoritas penduduk desa adalah orang-orang yang sudah renta dan anak-anak kecil. Anak-anak kecil ini bersekolah di desa.
Walau survei yang dilakukan Pew Research Center pada tahun 2008, sebanyak 76% penduduk China mendukung kebijakan "Satu Anak", saat ini kebijakan ini telah menimbulkan perdebatan di dalam negeri China. Banyak anak-anak menjadi lebih manja karena kebijakan ini menghasilkan "Kaisar Cilik" dalam rumah, di mana apa yang mereka minta akan dipenuhi (jika ada uang). Permen adalah salah satu bisnis besar di China, dengan volume lebih dari USD 3 miliar per tahun, di mana permen asal China lebih populer daripada permen impor. Salah satu permen China yang paling terkenal di luar negeri adalah White Rabbit Creamy Candy (baitu tang), yang baru-baru ini terkena kasus melamin di China.
China, dengan segala kekuasaan pemerintahnya, banyak hal-hal kehidupan masyarakatnya telah diatur oleh negara dan menjadi maju hingga sekarang. Ada bagusnya Indonesia mencontohnya, tapi seringkali terbentur urusan HAM.
Thanks ya Info nya
ReplyDeletesippp...
ReplyDelete