Tradisi Upacara Perkawinan di Teluknaga
Dalam kitab sejarah Sunda yang berjudul “Tina Layang Parahyang” (Catatan dari Parahyangan) disebut tentang kedatangan orang Tionghoa ke daerah Tangerang. Kitab tersebut menceritakan tentang mendaratnya rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) di muara sungai Cisadane yang sekarang diberi nama Teluk Naga pada tahun 1407. Pada waktu itu pusat pemerintahan ada di sekitar pusat kota sekarang, yang diperintah oleh Sanghyang Anggalarang selaku wakil dari Sanghyang Banyak Citra dari Kerajaan Parahyangan. Perahu rombongan Halung terdampat dan mengalami kerusakan juga kehabisan perbekalan. Daerah tujuan yang semula ingin dikunjungi adalah Jayakarta.
Rombongan Halung ini membawa tujuh kepala keluarga dan diantaranya terdapat sembilan orang gadis dan anak-anak kecil. Mereka kemudian menghadap Sanghyang Anggalarang untuk minta pertolongan. karena gadis-gadis yang ikut dalam rombongan itu cantik-cantik, para pegawai Anggalarang jatuh cinta
dan akhirnya kesembilan gadis itu dipersuntingnya. Sebagai kompensasinya, rombongan Halung diberi sebidang tanah pantai utara Jawa di sebelah timur sungai Cisadane, yang sekarang disebut Kampung Teluk Naga.
Daerah itu dinamakan ”Teluk Naga” karena, menurut pakar sinologi, Eddie Prabowo Witanto, dan dari beberapa cerita tentang asal-usul Teluk Naga, pada tahun 1400 kawasan ini kedatangan perahu Tiongkok yang di bagian haluan memiliki ukiran naga. Segera terjadi perkawinan campur antara sembilan putri Tionghoa dan pepatih dari Kerajaan Sunda yang berkuasa itu.
Penduduk etnis Tionghoa yang tinggal di daerah Teluknaga, Tangerang, banyak yang sampai kini masih memegang teguh tradisi budaya Tionghoa. Tentunya tradisi budaya yang dijalankan oleh mereka sudah mengalami akulturasi dengan budaya asli setempat, khususnya budaya Betawi. Salah satu bentuk tradisi yang kadang-kadang masih dijalankan oleh masyarakat Tionghoa Teluknaga adalah tata upacara tradisi perkawinan. Perkawinan yang biasa diadakan memiliki beberapa tahapan dan ritual, yaitu:
A. Sebelum hari perkawinan
- Tukar cincin: Upacara tukar cincin dilaksanakan setelah melewati tahapan melamar. Waktu pelaksanaannya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak keluarga dan biasanya dilaksanakan di rumah pihak keluarga wanita, di depan meja abu keluarganya.
- Anceng: Anceng atau Anchuang adalah upacara membersihkan ranjang dan kamar pengantin dari roh-roh jahat, memberkatinya serta meriasnya. Upacara ini dilakukan kurang lebih satu minggu sebelum hari perkawinan. Dan hanya dilakukan di rumah calon mempelai laki-laki.
- Malam Lasur: Peranakan Cina di Teluknaga memiliki tradisi menyelenggarakan beberapa kali jamuan perkawinan. Salah satu di antaranya adalah pada malam Lasur, yang biasanya diadakan sekitar lima atau enam hari sebelum hari perkawinan.
- Malam muda-mudi: Pada malam ini, kedua calon mempelai menjamu teman-teman mereka. Malam muda-mudi dianggap sebagai malam terakhir bagi kedua calon mempelai untuk menikmati kesenangan sebagai pemuda dan pemudi lajang bersama teman-teman mereka.
- Hari Potong Ayam, Hari Bumbu, Sedekah dan Anter Keceng : Satu atau dua hari sebelum hari perkawinan, di rumah kedua mempelai diadakan hari potong ayam, di mana pada hari ini para wanita bergotong royong memotong dan memasak ayam untuk pesta perkawinan. Sehari sebelumnya mereka membuat bumbu untuk masakan yang akan dihidangkan pada waktu pesta. Meskipun saat ini tradisi potong ayam sudah berkurang karena mereka lebih suka memesan makan jadi, namun pada hari potong ayam biasanya keluarga calon mempelai mengadakan acara sedekahan yang dipimpin oleh seorang kyai atau pribumi lain yang biasa melakukannya. Kagiatan lain yang dilakukan pada hari potong ayam adalah upacara antar keceng. Keceng adalah hadiah perkawinan yang diterima calon mempelai perempuan dari orangtuanya. Seringkali keceng dianggap sebagai bekal dari orangtua calon mempelai perempuan untuk kehidupan barunya.
- Pada Hari Perkawinan
# Peralatan Upacara
- Meja Samkai : Meja ini digunakan sebagai altar dan diletakkan persis di depan meja abu. Altar ini diberi to’wi, yakni semacam taplak uatu kain penutup warna merah bersulam motif-motif Cina tradisional. Di atas altar ini diletakkan benda-benda upacara seperti:
i. SoanLou/ XuanLu, yaitu sejenis perapian untuk membakar kayu garu dalam rangka ‘mengundang’ para dewa agar hadir pada kesempatan itu.
ii. Hio Lou, yaitu tempat untuk menancapkan Hio.
iii. Cenap, yaitu kotak kayu berukir yang berbentuk seperti kapal untuk tempat manisan buah-buahan. Benda ini berfungsi untuk menunjukkan status sebuah altar.
iv. Kembang Siantan/ Xiandan warna merah yang ditaruh dalam jambangan. Bunga ini adalah lambang keberuntungan.
v. Sebotol arak putih.
vi. Sebuah poci dan cawan kecil dari perak.
vii. Buah-buahan.
viii. Dua batang lilin merah.
ix. Sebuah pelita.
- Meja Abu : di meja ini diletakkan :
i. Sajian berupa beberapa jenis kue.
ii. Beberapa cangkir kecil berisi air the.
iii. Beberapa batang Hio.
iv. Lilin Liong.
- Altar Dewa Dapur : disebut juga Caokunkong/ Zaogungong. Di meja ini diletakkan sesisir pisang, hio, dan lilin merah kecil, juga diletakkan payung hitam.
- Nyiru besar berwarna merah yang diletakkan di antara meja samkai dan meja abu.
- Sebuah meja kecil yang diatasnya diletakkan dua batang lilin dan tauteng/douding, yakni perangkat upacara yang terdiri ari benda-benda simbolis berikut ini:
i. Sebuah gantang berwarna merah yang pada dindingnya terdapat gambar Ba Gua. Hal ini menyimbolkan takaran rejeki manusia.
ii. Sebuah gunting yang menyimbolkan sebuah kerjasama untuk menyelesaikan masalah.
iii. Sebuah Liteng, yakni timbangan obat Cina.Sebagai simbol bahwa suami-istri harus mempertimbangkan masak-masak apa yang akan dilakukannya dan mempertimbangkan segala akibatnya.
iv. Ciok/ Chi, yaitu sebuah alat pengukur dari kayu. Hal ini sebagai simbol bahwa suamu-istri harus mengetahui batas-batas dalam bertingkah laku, dan juga harus jujur.
v. Cermin, sebagai simbol bahwa mereka harus selalu berintrospeksi diri.
vi. Benang Sutera, sebagai simbol sebuah hubungan yang kuat dan indah.
vii. Pelita, sebagai simbol kejujuran.
viii. Sisir, segala percekcokan di antara suami-istri haru segera diselesaikan sebagaimana sisir yang merapikan rambut yang kusut.
ix. Kitab LakJit/ LiRi, sebagai simbol pengetahuan.
# Pakaian dan Aksesoris Pengantin
Pakaian tradisional pengantin wanita terdiri atas HoaKun berwarna dasar hijau, blus putih berlengan panjang dan sebuah baju warna merah berpotongan longgar yang panjangnya sebatas lutut. Lengan baju merah tersebut cukup lebar dan lebih panjang dari panjang lengan rata-rata wanita. Selain itu mempelai wanita juga mengenakan selubung muka yang terbuat dari bahan transparan warna hijau.
Untuk aksesoris pengantin terbagi atas aksesoris untuk kepala yang terdiri atas Mahkota kecil, Tusuk konde, Blengker konde, Kalung konde, Kembang cabe, Kayu mati, Kembang goyang, Burung Hong, Anting panjang, Sumping, dan Sianko, dan aksesoris untuk tangan yang terdiri dari Cincin, dan Gelang beras. Ada juga aksesoris untuk dada dan punggung yang terdiri dari kalung, dan teratai. Sedangkan untuk aksesoris pria tidak terlalu banyak. Hanya sebuah cetok/ tudung berwarna merah, dan sebuah kipas yang diikat dengan saputangan merah.
# Jalannya upacara
Upacara pertama dari keseluruhan rangkaian upacara adalah Ciotao/ Shang Tou. Di Tangerang upacara ini adalah upacara perkawinan adat peranakan Cina. Selesai melakukan rangkaian upacara Ciaotao, ayah dan ibu mempelai menghadap meja abu dan soja kepada leluhur. Setelah dirias ulang mempelai pun menjalankan upacara selanjutnya yaitu Paiciu/ Baijiu. Pada upacara ini kedua mempelai mempersembahkan arak kepada kedua orangtuanya. Mereka bergantian meminumkannya dan memberi selamat kepada kedua mempelai karena sejak saat itu mereka telah menjadi orang dewasa. Upacara Baijiu diikuti oleh upacara makan dua belas mangkok, Dalam upacara ini mempelai diingatkan bahwa mulai saat ini mereka harus mencari makan sendiri dan tidak lagi bergantung pada kedua orangtuanya.
Selesai melakukan upacara di atas, mempelai akan memasuki kamar pengantin dan kembali melakukan berbagai upacara, yaitu nyawer, Cinpang/ Jin Fang, lalu upacara makan onde. Selesai melakukan upacara tersebut, kedua mempelai melakukan upacara minum teh atau Chabai, upacara ini juga digunakan sebagai ajang perkenalan mempelai dengan keluarga besar pasangannya. Usai melakukan Chabai maka berakhirlah serangkaian upacara pada hari itu, ban kedua mempelai pun berkeliling sambil mengucapkan terima kasih kepada semua yang membantu terlaksananya acara.
nice post
ReplyDeleteArtikel yang melestarikan budaya
ReplyDelete