Kehidupan Politik, Sosial Budaya, dan Ekonomi
Etnis Tionghoa Pasca Orde Baru
Pendahuluan
Latar belakang
Sudah sejak lama orang-orang keturunan Tionghoa menemukan masalah dalam menentukan jatidiri mereka. Di satu sisi saat ini hampir seluruh dari mereka merasa sebagai orang Indonesia yang hidup dan tinggal di negeri yang mereka cintai. Akan tetapi di sisi lain, sudah lama mereka tidak diakui keberadaannya sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai kebijakan yang diterapkan oleh penguasa yang dianggap sangat merugikan orang yang berasal dari etnis Tionghoa. Hal ini terutama sangat mereka rasakan ketika Orde Baru masih berkuasa di Indonesia.
Orang yang berasal dari etnis Tionghoa oleh penguasa diperlakukan sama sekali berbeda dengan warga negara Indonesia lainnya. Berbagai kebijakan yang dibuat sangat membatasi ruang gerak etnis Tionghoa untuk dapat hidup dengan aman dan nyaman di negara yang sebenarnya mereka cintai ini. Adanya tekanan dari penguasa Orde Baru terhadap etnis Tionghoa juga berimbas kepada persepsi masyarakat terhadap orang yang berasal dari etnis Tionghoa.
Etnis Tionghoa mengalami banyak tekanan terutama dalam tiga bidang pokok kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu politik, sosial budaya, dan ekonomi. Berbagai kegiatan mereka diawasi dengan ketat dalam tiga bidang tadi dan adanya perlakuan diskriminasi dalam pemberian izin untuk terjun dalam tiga bidang itu. Dibentuknya Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) juga menunjukan bagaimana pemerintah Orde Baru memandang etnis Tionghoa sebagai sebagai suatu “masalah” yang harus dipecahkan. BKMC ini sendiri berada langsung di bawah Badan Koordinasi Intelejen (BAKIN) yang menunjukan bahwa kegiatan dan aktivitas orang-orang etnis Tionghoa harus diawasi dan dimata-matai.
Pada tahun 1998 terjadi perubahan yang sangat besar dalam kehidupan negara Indonesia. Rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun tumbang. Rezim ini yang telah mengakar dengan sangat kuat dalam ketatanegaraan Indonesia jatuh dan digantikan oleh pemerintahan baru. Adanya pergantian kekuasaan ini juga menyebabkan terjadinya keterbukaan di Indonesia. Perubahan ini membawa dampak yang sangat besar bagi etnis Tionghoa.
Mereka yang seperti hidup dalam sangkar pada saat rezim Orde Baru berkuasa, pada akhirnya merasakan angin kebebasan. Mereka mendapatkan kebebasan untuk berekspresi dalam tiga bidang yang sebelumnya sangat dikontrol pemerintah Orde Baru, yaitu politik, sosial budaya, dan ekonomi. Sangat menarik untuk disimak bagaimana kehidupan politik, sosial budaya, dan ekonomi etnis Tionghoa sejak era reformasi bergulir.
Permasalahan
Politik, sosial budaya, dan ekonomi adalah tiga bidang yang sangat menentukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak era reformasi bergulir, masyarakat etnis Tionghoa mengecap manisnya arus perubahan ini. Mereka mengapresiasi tiga bidang tadi dengan sangat antusias. Terjadi perubahan yang sangat besar dalam kehidupan politik, sosial budaya, dan ekonomi masyarakat etnis Tionghoa.
Tujuan penulisan
Makalah ini bertujuan untuk memaparkan bagaimana kehidupan politik, sosial budaya, dan ekonomi masyarakat etnis Tionghoa sejak era reformasi bergulir. Terjadi perubahan yang sangat besar dalam tiga bidang tadi jika dibandingkan dengan pada saat rezim Orde Baru masih berkuasa.
Metode penulisan
Dalam menyusun isi dari makalah ini kami menggunakan metode studi kepustakaan dan internet. Kami mengambil bahan-bahan yang terdapat di buku dan internet untuk disusun menjadi bahan acuan dan data dalam makalah ini.
Kehidupan Politik
Pada zaman Hindia Belanda, perbedaan politik tampak jelas dari perbedaan aliran dari masing-masing organisasi politik yang dibentuk orang Tionghoa. Pertama yang berorientasi ke Tiongkok, kedua yang berorientasi ke Hindia Belanda, dan ketiga yang berorientasi ke Indonesia. Organisasi yang berorientasi ke Tiongkok adalah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK, 1900), Siang Hwee (1908), dan Soe Po Sia (1908). Organisasi ini didukung oleh orang Tionghoa Totok, yang baru datang ke Indonesia sekitar akhir abad ke 19 sampai dengan awal abad ke 20. Organisasi yang berorientasi ke Hindia Belanda adalah Chung Hwa Hui (CHH) yang didirikan pada tahun 1920. Para pendirinya adalah orang Tionghoa Peranakan yang berpendidikan Belanda, yang sudah beberapa generasi tinggal di Indonesia. Karena terlalu "kebelanda-belandaan", oraganisasi ini akhirnya terpecah dua. Yang tidak setuju kemudian mendirikan partai politik yang pro-lndonesia, yaitu Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932.
Berbeda dengan kelompok Sin Po dan CHH, PTI yang didirikan pada tahun 1932 berkiblat ke Indonesia dan lebih mengidentifika-sikan diri kepada Indonesia daripada ke negara Cina atau Belanda. Partai itu bertujuan "membantu Indonesia membangun bidang ekonomi, sosial, dan politiknya menuju ke suatu negara di mana rakyat menikmati hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama".[1]
Berbeda dengan awal tahun 1900-an, runtuhnya rezim Orde Baru dan dimulainya era Reformasi menyebabkan terjadi banyak perubahan dalam kehidupan sosial dan politik orang-orang Tionghoa di Indonesia. Berbagai peristiwa tersebut menimbulkan kesadaran di kalangan etnis Tionghoa bahwa ada sesuatu yang salah dalam kehidupan mereka. Akibat tindakan represif yang dijalankan Jenderal Soeharto di masa penumpasan G30S dan PKI (1965-1969) dimana puluhan ribu orang-orang Tionghoa di seluruh Indonesia dituduh terlibat dan turut dikejar-kejar dan ditangkap untuk dijadikan objek pemerasan, terjadi trauma yang luar biasa di kalangan etnis Tionghoa sehingga mereka menjauhi wilayah politik. Ribuan sekolah dan beberapa universitas baik yang didirikan oleh Baperki maupun milik yayasan-yayasan Tionghoa ditutup dan gedungnya dijadikan markas tentara atau kesatuan aksi mahasiswa yang kemudian berubah menjadi sekolah negeri, ruko, atau perkantoran.
Semua hal ini terjadi karena rezim Orde baru menjadikan “metode asimilasi” sebagi solusi untuk menyelesaikan apa yang disebut “masalah Cina”. Berbagai kebijakan dikeluarkan pemerintah Orde Baru berkenaan dengan etnis Tionghoa. Misalnya pelarangan sekolah dan penerbitan berbahasa Cina, keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai pergantian nama, Instruksi Presiden No. 14/1967 yang mengatur agama, kepercayaan, dan adat istiadat keturunan Cina, Keputusan Presiden No. 240/1967 mengenai kebijakan pokok yang mengatur WNI keturunan asing, serta Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina (Leo Suryadinata, 1984: 153—173).
Tindakan rezim Orde Baru yang melarang penggunaan bahasa dan aksara Tionghoa serta larangan merayakan ritual agama, budaya dan tradisi Tionghoa serta penggantian istilah Tionghoa dengan peyoratif Cina ditambah dibentuknya Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) menimbulkan rasa takut dan enggan sebagian besar etnis Tionghoa untuk memasuki wilayah politik. Mereka perlahan-lahan digiring untuk memasuki wilayah bisnis semata dan dikurung di sana untuk tiga puluh dua tahun lamanya sampai runtuhnya rezim tersebut. Celakanya rezim Orde Baru memelihara segelintir pengusaha Tionghoa untuk dijadikan kroni mereka dalam menumpuk kekayaan dengan mengembangkan sistem percukongan yang memberikan fasilitas-fasilitas tertentu yang melahirkan konglomerat-konglomerat gelap yang menimbulkan imej yang sangat buruk di mata rakyat yang sangat merugikan seluruh etnis Tionghoa.
Kerusuhan Mei 1998 telah membuktikan bahwa tanpa didukung kekuatan politik, posisi orang-orang Tionghoa di Indonesia yang menurut mitos yang selama ini berkembang di masyarakat seolah-olah “sangat kuat” di bidang ekonomi, ternyata sangat rentan dan dapat dibuat tidak berdaya hanya dalam hitungan jam saja. Telah terbukti pula bahwa keyakinan sementara kalangan etnis Tionghoa bahwa perlindungan yang paling aman adalah dengan cara mencantolkan diri kepada para penguasa ternyata keliru.
Selama berlangsungnya kerusuhan Mei, kita dapat menyaksikan adanya “pembiaran” dari aparat keamanan sehingga aksi-aksi anarkis tersebut dapat berlangsung dengan bebas tanpa ada sedikitpun usaha untuk menghalanginya. Tidak lama setelah jatuhnya rezim Orde Baru bermunculanlah berbagai LSM, ormas dan partai politik yang didirikan oleh berbagai kalangan etnis Tionghoa dengan visi dan misinya masing-masing. Apalagi setelah Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres yang memberi kebebasan kepada etnis Tionghoa dalam melakukan ritual-ritual keagamaan, tradisi dan budayanya serta Keppres Presiden Megawati yang menjadikan Imlek hari libur nasional, terjadi euphoria yang luar biasa di kalangan etnis Tionghoa.
Jika selama rezim Orde Baru orang-orang Tionghoa hanya berkonsentrasi di wilayah bisnis saja, maka di masa Reformasi terjadi perubahan. Mereka sekarang mencoba memasuki wilayah-wilayah lain yang selama tiga puluh dua tahun tertutup baginya. Etnis Tionghoa sekarang telah berani tampil ke depan untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara dengan menuntut pencabutan seluruh peraturan-peraturan yang diskriminatif, antara lain yang sekarang sedang hangat-hangatnya adalah masalah Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Dalam kehidupan sehari-hari mereka masih mendapatkan perlakuan khusus, misalnya kalau melamar untuk mendapatkan paspor mereka harus menyertakan surat kewarganegaraan.
SBKRI lahir karena adanya kebijakan Orde Baru yang sebenarnya kini tidak dapat dipakai lagi atau tidak relevan. Hal ini dimulai ketika terjadi perjanjian Dwikewarganegaraan antara Indonesia dengan RRC yang dikenal dengan nama perjanjian Dwikewarganegaraan Chou-Soenario yang berlangsung dari Januari 1960 sampai Januari 1962.[2]
Adanya kebebasan untuk membentuk perkumpulan bagi kalangan etnis Tionghoa menyebabkan menjamurnya berbagai perkumpulan yang bercirikan Tionghoa. Setiap perkumpulan memiliki visi dan misinya masing. Diantara mereka sendiri terdapat berbagai perbedaan pandangan dalam hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Pandangan berbagai organisasi tersebut menurut Benny G. Setiono dapat dibagi sebagai berikut :
- Kelompok yang berpendapat bahwa etnis Tionghoa harus membentuk partai politiknya sendiri agar dapat memperjuangkan kepentingan dan haknya secara langsung di DPR.
- Kelompok yang langsung mengintegrasikan diri ke tengah-tengah masyarakat dengan membentuk LSM-LSM yang menentang peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan diskriminatif.
- Orang-orang Tionghoa yang berpendapat bahwa mereka tidak punya masalah dengan ke-Tionghoa-annya dan merasa telah sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia. Mereka terjun langsung memasuki partai-partai politik dan berhasil menjadi anggota DPR atau MPR bahkan Menteri.
- Kelompok yang hanya ingin memperjuangkan hak-hak etnis Tionghoa terutama dalam mempertahankan sosial budaya etnis Tionghoa dan menghindari wilayah politik.
- Kelompok yang ingin menyelesaikan masalah Tionghoa secara holistic dengan menghimpun sebanyak mungkin orang-orang Tionghoa ke dalam sebuah wadah untuk bersama-sama komponen bangsa lainnya menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi bangsa Indonesia menuju Indonesia Baru yang adil, makmur, dan berperadaban tinggi sehingga dapat bersaing di tengah globalisasi yang sedang melanda dunia.
- Kelompok pengusaha yang selama ini merasa aspirasinya tidak terwakili oleh KADIN membentuk Perhimpunan Pengusaha Tionghoa Indonesia.
- Selebihnya ratusan organisasi di seluruh Indonesia yang dibentuk kalangan “totok” berupa yayasan, perkumpulan dan perhimpunan yang pada umumnya berdasarkan asal provinsi atau kampung halamannya di daratan Tiongkok (Hokkian, Hakka, Kongfu, dsbnya) maupun berdasarkan marga (Liem, Wong, dsbnya).
Banyak juga dibentuk perkumpulan kematian, paguyuban alumni eks sekolah-sekolah Tionghoa, dan yayasan-yayasan pendidikan, kesehatan, dan seni budaya. Namun pada umumnya organisasi-organisasi ini dibentuk hanya berdasarkan ikatan kekerabatan dan nostalgia dan sangat menghidari wilayah politik. Yang paling banyak adalah perkumpulan-perkumpulan seni budaya seperti barongsai dan liong yang pada umumnya berbasiskan berbagai kelenteng di seluruh kota-kota di Indonesia.
Di antara berbagai organisasi Tionghoa, Perhimpunan INTI yang secara periodik mengadakan diskusi-diskusi dan seminar-seminar politik dengan berbagai tema dan narasumber dalam upaya meningkatkan kesadaran dan pengetahuan politik para anggota dan simpatisannya. Hasilnya menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan. Jika pada awalnya peserta diskusi dan seminar-seminar tersebut hanya sedikit, namun sekarang setiap event diikuti oleh ratusan orang secara tekun dan aktif. Padahal Perhimpunan INTI bukanlah sebuah organisasi politik praktis dan melarang pengurusnya menjadi pengurus partai politik apapun. Perhimpunan INTI tidak mencantolkan diri kepada kekuatan politik apapun dan berusaha selalu independen. Dalam menghadapi Pemilu, Perhimpunan INTI mengajurkan para anggota dan simpatisannya untuk menggunakan hati nurani dan pengetahuan politiknya untuk menentukan pilihannya.
Bagi mereka yang merasa partisipasi politik Tionghoa tidak penting karena populasinya sedikit, mereka melupakan bahwa jumlah mungkin memiliki makna cukup besar bagi perhitungan suara pemilu, tetapi kecil bagi proses demokratisasi secara komprehensif. Demokrasi bukan monopoli mayoritas. Partisipasi politik minoritas yang demokratis justru bisa memberikan kontribusi pembelajaran yang menarik dalam proses demokratisasi.
Seperti telah diduga sebelumnya partai-partai politik yang bersifat primordial dan menggantungkan diri kepada basis Tionghoa pasti akan mengalami kegagalan. Dalam Pemilu Legislatif 2004 yang lalu, tidak sebuah pun parpol berbasis Tionghoa berhasil lolos seleksi, baik Departemen Kehakiman & Ham maupun KPU. PPBI tidak lolos seleksi Departemen Kehakiman & Ham dan PBI tidak lolos seleksi KPU. Masih ada satu partai politik lainnya yang dipimpin oleh seorang etnis Tionghoa dan juga mengandalkan dukungan dari kalangan etnis Tionghoa yaitu PDPR yang juga gagal mengikuti Pemilu karena tidak lolos seleksi KPU. Tetapi dengan gesit dan lincahnya para pemimpin parpol tersebut segera bermigrasi dan menjadi caleg partai politik lainnya. Ironisnya semuanya gagal menjadi anggota DPR.
Dalam Pemilu yang baru saja berlalu, lebih dari dua ratus orang etnis Tionghoa menerjunkan diri menjadi caleg, baik untuk DPR maupun DPRD. Namun pada umumnya mereka hanya digunakan oleh berbagai partai politik terutama partai-partai gurem untuk menghimpun suara dan dana.Mereka hampir semuanya ditempatkan di posisi “nomor sepatu”. Para caleg Tionghoa ini kebanyakan adalah para pengusaha golongan menengah yang sangat naïf dalam persoalan politik dan belum siap untuk terjun ke kancah politik praktis. Dari seluruh caleg tersebut hanya beberapa orang saja yang berhasil menjadi anggota DPR maupun DPRD.
Orang Tionghoa cukup pesimistis dalam menghadapi Pemilu. Menurut anggapan mereka apa yang dijanjikan selama masa kampanye hanyalah janji gombal belaka. Memang ada sekelompok orang Tionghoa yang mungkin bertujuan menjadi kroni para penguasa yang akan datang dengan secara aktif terjun menjadi tim sukses para Capres/Cawapres, tetapi mereka hanya minoritas dan tidak dapat mewakili keseluruhan etnis Tionghoa.
Selama beberapa dasawarsa, aksara Tionghoa atau Hanzi dilarang atau paling tidak "tidak dianjurkan penggunaannya" di Indonesia. Namun akhir-akhir ini bahkan kandidat presiden dan wakil presiden Megawati dan Wahid Hasyim menggunakannya pada poster kampanye Pemilu Presiden 2004.
Kehidupan Sosial dan Budaya
Pada masa Orde Baru terdapat beberapa kebijakan pemerintah yang bersifat diskriminatif, seperti Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang.
Di masa pasca Orde Baru, partisipasi sosial kalangan etnis Tionghoa sangat menonjol. Pada umumnya mereka aktif bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan. Banyak sekali orang-orang Tionghoa yang memilih profesi sebagai guru, dosen, profesor, dokter, insinyur, pengacara, hakim, jaksa, advokat, bahkan polisi dan tentara. Mereka mendirikan berbagai sekolah mulai dari TK sampai SMA dan berbagai universitas.
Demikian juga puluhan rumah sakit didirikan kalangan etnis Tionghoa. Rumah sakit-rumah sakit ini didirikan dengan tujuan sosial semata yaitu untuk memberikan bantuan medis bagi yang membutuhkan tanpa memandang kemampuan ekonominya. Bandingkan dengan rumah sakit-rumah sakit yang didirikan di masa Orde Baru yang bertujuan komersial semata.
Selaras dengan berlangsungnya reformasi, berbagai kegiatan sosial dilakukan oleh organisasi-organisasi Tionghoa antara lain dalam membantu korban gempa bumi, banjir, dan kebakaran. Demikian juga dengan kegiatan pembagian sembako dan pakaian bekas, donor darah, khitanan massal serta pengobatan massal secara cuma-cuma bagi kaum duafa.
Di bidang pendidikan mereka banyak mendirikan lembaga-lembaga pendidikan mulai dari kursus bahasa Inggris, Mandarin, komputer sampai akademi dan universitas. Kalangan mudanya secara aktif mulai memasuki bidang-bidang profesi di luar wilayah bisnis semata. Mereka sekarang secara terbuka berusaha menjadi artis sinetron, presenter TV, peragawati, foto model, pengacara, wartawan, pengarang, pengamat sosial/ politik, peneliti, dsbnya. Hal ini sangat berbeda ketika rezim Orde Baru memberlakukan kebijakan diskriminasi. Misalnya, pemberlakuan batasan 10 persen bagi etnis Cina untuk bisa belajar di bidang medis, permesinan, sains dan hukum di universitas.
Di dalam kehidupan sosial mereka mulai membuka diri dan mau peduli terhadap lingkungan di sekitarnya. Mereka tidak lagi menolak apabila terpilih menjadi Ketua RT/RW dan secara aktif ikut dalam penyelengaraan Pemilu di lingkungan tempat tinggalnya.
Dalam hubungan mereka dengan negara leluhur (RRC), pada umumnya mereka mengambil sikap bahwa hubungan tersebut hanya bersifat kekerabatan semata. Mereka merasa telah sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia yang lahir, besar, dan meninggal serta dikebumikan di Indonesia. Filsafat mereka sekarang adalah luo di sheng gen yaitu “berakar di bumi tempat berpijak” yang dapat diartikan menetap di Indonesia selama-lamanya menggantikan ye luo gui gen yang berarti “ibarat daun rontok kembali ke bumi”.[3]
Demikian juga sikap pemerintah RRC yang dengan tegas menyatakan bahwa orang Tionghoa Indonesia adalah warga Indonesia yang harus loyal kepada Indonesia, mentaati hukum dan peraturan Indonesia serta memberikan sumbangan pada pembangunan dan kemajuan Indonesia. Orang Tionghoa Indonesia bukan warga RRC dan tidak berada di bawah yurisdiksi Tiongkok.
Kehidupan Ekonomi
Walaupun jumlah orang etnis Tionghoa di Indonesia relatif sedikit, namun berhubung dengan peranan mereka dalam kehidupan ekonomi, suatu peranan kunci dalam masyarakat mana pun, maka mereka merupakan suatu minoritas yang berarti. Keadaan inilah yang merupakan sumber permasalahan apa yang dinamakan “masalah Cina”. (Melly G. Tan, 1981).
Dari pernyataan Melly G. Tan tersebut dapat kita lihat bahwa masalah ekonomi merupakan salah satu sebab pokok mengapa sampai muncul “masalah Cina”. Masyarakat Tionghoa yang sebagian besar terjun dalam bidang usaha dan pada akhirnya berhasil meraih sukses dianggap mengeruk keuntungan dari masyarakat Indonesia lain.
Banyaknya orang yang berasal dari etnis Tionghoa yang meraih sukses dalam bidang ekonomi menyebabkan pemerintahan Orde Baru mengeluarkan kebijakan yang bersifat diskriminatif, yaitu PP 10 Tahun 1959-1960 dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 yang menyebutkan orang Tionghoa di Jawa tidak diperbolehkan berusaha di tingkat kabupaten. Kebijakan ini menyebabkan terpusatnya pemukiman etnis Tionghoa di perkotaan.
Di masa Orde Baru segelintir pengusaha Tionghoa dijadikan kroni oleh para penguasa untuk memupuk kekayaan. Dalam melakukan bisnisnya mereka banyak melakukan tindakan-tindakan kotor yang sangat merugikan rakyat. Sudah tentu hal ini menimbulkan citra yang sangat buruk bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia. Perbuatan mereka benar-benar merusak kehormatan etnis Tionghoa dan menjadikan mereka sasaran empuk ketidak puasan rakyat.
"Binatang ekonomi" dan "apolitis" adalah dua stigma populer yang berurat-akar bagi orang Tionghoa. Persepsi mayoritas elite politik Indonesia tampaknya masih berkutat di situ karena menilai partisipasi Tionghoa sebatas keuntungan ekonomis. Persepsi ini adalah buah dari asumsi tidak mendasar bahwa komunitas Tionghoa yang hanya 2 persen dari populasi menguasai 70 persen perekonomian nasional. Citra kekuatan ekonomi komunitas Tionghoa memang sudah ada sejauh sejarah kolonial.[4]
Terjadi generalisasi di masyarakat bahwa etnis Tionghoa adalah binatang ekonomi yang rakus belaka. Padahal mayoritas etnis Tionghoa adalah kalangan menengah ke bawah. Pada umumnya para pedagang Tionghoa adalah pedagang perantara dan distribusi yang jauh dari praktek KKN, malahan merekalah yang selalu menjadi korban pemerasan para birokrat dan preman. Dalam setiap aksi kerusuhan merekalah yang selalu menjadi korban penjarahan dan perusakan.
Demikian juga tuduhan bahwa pengusaha-pengusaha Tionghoa anasionalis karena memindahkan modalnya ke luar negeri terutama ke RRC harus dipelajari dengan seksama. Di era globalisasi, perpindahan modal adalah hal yang wajar. Modal akan mencari tempat-tempat di mana mereka akan berkembang dan memperoleh untung. Modal para pengusaha baik domestik maupun asing akan pergi apabila terjadi situasi yang tidak menguntungkan di suatu tempat atau negara manapun. Tetapi sebaliknya modal asing akan berduyun-duyun masuk ke sebuah negara yang situasinya kondusif dan menjanjikan keuntungan. Untuk itulah kita perlu memberi kemudahan, menjamin stabilitas keamanan, adanya kepastian dan tegaknya hukum serta menghapuskan KKN yang menjadi momok para pengusaha baik domestik maupun asing.
Apabila kita berkunjung ke kampung-kampung di sekitar Jabotabek seperti di perkampungan Penjaringan Jakarta, Dadap, Kamal, Mauk di Tangerang, Cileungsi di Bogor, dan Babelan di Bekasi maka kita akan menjumpai banyak sekali orang-orang Tionghoa yang sangat miskin. Demikian juga apabila kita berkunjung ke kampung-kampung di Kalimantan Barat terutama di Singkawang. Hal yang sama akan kita jumpai di provinsi Riau dan Bangka Bilitung. Semua ini membuktikan bahwa tidak semua orang Tionghoa adalah golongan ekonomi kuat seperti yang selalu digembar-gemborkan sehingga dapat menimbulkan kesan yang sangat negatif di kalangan masyarakat luas yang sangat merugikan etnis Tionghoa.
Di masa Reformasi terjadi perubahan paradigma di kalangan pengusaha Tionghoa. Mereka sekarang berusaha menghindari cara-cara kotor seperti suap-menyuap walaupun tidak mudah karena mereka selalu menjadi objek para penguasa dan birokrat. Mereka juga berusaha melakukan kemitraan dengan pengusaha-pengusaha kecil non Tionghoa dalam membangun dan mengembangkan usahanya. Justru para pengusaha kelas menengah inilah yang di masa krisis menunjang perekonomian kita sehingga tidak bangkrut.
Sudah tentu masih ada orang-orang Tionghoa yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan kotor seperti menjadi penyelundup, penyalur narkoba, perjudian gelap, dsbnya. Tetapi sudah tentu perbuatan-perbuatan kriminal ini tidak hanya dilakukan orang-orang Tionghoa saja. Dalam aksi-aksi pombobolan bank yang terjadi baru-baru ini ternyata pelakunya bukanlah orang-orang Tionghoa seperti yang dahulu biasa terjadi.
Simpulan
Arus perubahan yang terjadi setelah reformasi bergulir harus disyukuri oleh semua pihak. Terjadi perubahan yang mengarah kepada perbaikan setelah rezim Orde Baru tumbang. Masyarakat etnis Tionghoa sangat merasakan dampak positif dari perubahan ini. Tragedi Mei 1998 yang merupakan saat dimana terjadi peristiwa yang paling memilukan bagi orang etnis Tionghoa ternyata berubah menjadi berkah setelah masa itu lewat. Masyarakat etnis Tionghoa mendapatkan kebebasan dalam hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia. Perlahan-lahan eksistensi mereka diakui dan dihargai di negeri ini.
Terjadi perubahan sikap masyarakat Tionghoa terhadap bidang politik, sosial budaya, dan ekonomi. Hal ini juga terjadi karena adanya perubahan sikap dan persepsi masyarkat Indonesia lain dalam memandang mereka. Cap negatif yang sebelumnya distempel rezim Orde Baru pada masyarakat Tionghoa perlahan-lahan luntur dan mengubah pandangan sebagian besar masyrakat Indonesia yang berasal dari etnis yang berbeda. Tedapat kemajuan yang sangat besar dalam bidang politik, sosial budaya, dan ekonomi yang telah dilakukan masyarakat Tionghoa.
Untuk membangun kembali Indonesia, suka tidak suka etnis Tionghoa harus diterima dengan legowo dan apa adanya, karena etnis Tionghoa adalah bagian integral bangsa Indonesia. Potensi mereka harus dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kemajuan bangsa dan negara kita. Marilah kita belajar dari pengalaman negara-negara tetangga kita. Kita lihat kemajuan yang dicapai Thailand, Malaysia dan Singapura yang memberikan kesempatan yang sama kepada warga negaranya tanpa membedakan asal-usulnya. Untuk itulah kita harus bersama-sama menghilangkan prasangka dan memberikan kesempatan kepada etnis Tionghoa untuk memasuki semua wilayah yang selama masa pemerintahan Orde Baru tertutup bagi mereka. Berikanlah kesempatan kepada mereka sebagai komponen bangsa untuk benar-benar memberikan sumbangsih terbaiknya kepada bangsa dan negara.
Daftar acuan
Sumber acuan dari buku:
Setiono, Benny G. 2003. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa
Tan, Melly G. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: PT Gramedia
Yuniarti, Fransisca M. 1983. Skripsi Sarjana: Partai Tionghoa Indonesia 1932—1942. Depok: Fakultas Sastra UI
Sumber acuan dari internet:
www.csis.or.id
www.geocities.com
www.indonesiahouse.org
www.indonesiamedia.com
www.mail-archive.com
www.munindo.brd.
www.seasite.niu.edu
web.singnet.com.
www.tokohindonesia.com
[1] Yuniarti, Fransisca M. 1983. Skripsi Sarjana: Partai Tionghoa Indonesia 1932—1942. Depok: Fakultas Sastra UI
[2] Melly G. Tan, 1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: PT Gramedia
[4] Christine Susanna Tjhin, Partisipasi politik Tionghoa dan demokrasi. Kompas, September 20, 2004
No comments:
Post a Comment